Rabu, 07 Januari 2009

IJTIHAD

e. Lingkup Ijtihad

Sebagaimana definisi ijtihad di atas, lingkup ijtihad hanya terbatas pada penggalian hukum syariat dari dalil-dalil dzanni. Ijtihad tidak boleh memasuki wilayah yang sudah pasti (qath‘i), maupun masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami secara langsung oleh akal.

Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang jelas penunjukkannya (qath‘i), ada pula yang penunjukkannya zhanni. Ijtihad tidak boleh dilakukan pada ayat-ayat yang jelas (qath‘i) maknanya, misalnya masalah-masalah akidah, kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini bukanlah lingkup ijtihad. Sebab, masalah-masalah seperti ini sudah sangat jelas dan tidak boleh ada kesalahan di dalamnya. Siapa saja yang salah dalam mempersepsi perkara-perkara yang sudah qath‘i, maka ia telah terjatuh dalam dosa dan berhak mendapatkan azab Allah Swt. Sebaliknya, kesalahan dalam perkara-perkara ijtihadiah (zhanni) tidak akan menjatuhkan pelakunya dalam dosa dan maksiyat. (Al-Amidi, ibid., II/311).

Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni. Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut demikian karena ia masih membuka ruang terjadinya perbedaan interpretasi. Adapun perkara yang melibatkan dalil qath‘i, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiah.

Haramnya memilih kepala negara yang berhaluan sekular dan tidak mendukung penerapan syariat Islam bukanlah perkara ijtihadiah. Sebab, kebatilan dan pertentangan sekularisme dengan Islam adalah perkara qath‘i. Kewajiban menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara juga merupakan perkara yang pasti dan tidak boleh ada perselisihan. Kewajiban menegakkan kembali Khilafah Islamiyah juga merupakan perkara pasti yang tidak boleh ada perbedaan di kalangan Muslim.

Sayangnya, sebagian orang malah menolak penerapan syariat Islam dan penegakkan Khilafah Islamiah dengan dalih ijtihad dan ijtihadiah. Mereka menganggap bahwa perbedaan dalam masalah semacam ini masih dalam kategori boleh. Alasannya, masing-masing orang mempunyai ijtihad sendiri-sendiri dan sah-sah saja jika hasil ijtihadnya berbeda. Akibatnya, umat tidak bisa memilah mana pendapat yang telah menyimpang dari syariat Islam dan mana pendapat yang masih terkategori pendapat islami. Ketika disampaikan bahwa berhukum dengan aturan Allah merupakan kewajiban, dengan entengnya mereka menyatakan, “Itu kan ijtihad Anda? Kami mempunyai pendapat dan ijtihad sendiri dalam masalah ini. Jika kami berbeda dengan Anda, Anda tetap harus menghargai pendapat kami, dan tidak boleh menyalahkan kami. Bukankah salah dalam ijtihad tidak berdosa?”

Semua ini diakibatkan karena umat tidak lagi memahami lingkup ijtihad; mana yang terkategori perkara ijtihadiah dan mana yang bukan. Akhirnya, umat tidak bisa membedakan pendapat islami dan pendapat yang telah menyimpang dari akidah dan syariat Islam.

Tidak ada komentar: