Kamis, 25 Juni 2009

LEMBAGA-LEMBAGA KEMASYARAKATAN

BAB VI
LEMBAGA-LEMBAGA KEMASYARAKATAN
Islam dalam sejarah, seperti telah dilihat mengambil bentuk
negara. Sebagai Negara Islam sudah barang tentu harus mempunyai
lembaga-lembaga kemasyarakataan seperti pemerintahan; hukum,
pengadilan; polisi; pertahanan dan pendidikan.
Masyarakat Islam pada mulanya tersusun atas orang-orang Arab
saja, tetapi dengan tersiarnya Islam ke luar Arabia, orang-orang bukan
Arab masuk Islam dengan menggabungkan diri dengan salah satu suku
bangsa Arab, disebut Mawali. Kaum Mawali dalam prakteknya
mempunyai kedudukan lebih rendah dari orang Arab. Orang-orang
Arab, sebagai bangsa yang berkuasa di waktu itu, dianggap oleh
masyarakat lebih tinggi. Karena mempunyai kedudukan lebih tinggi,
agama dan kebudayaan Arab Islam dipandang lebih tinggi pula. Tidak
mengherankan kalau bangsa-bangsa yang berada di bawah kekuasaan
Islam di waktu itu banyak berusaha untuk meniru orang Arab dalam
bahasa, pakaian dan adat istiadat. Bahkan banyak pula yang
meninggalkan agama aslinya dan masuk Islam.
Kedudukan Mawali yang lebih rendah itu di Persia pada akhirnya
membawa kepada gerakan syu'ubiah, suatu gerakan yang dekat
menyerupai gerakan nasionalisme dalam arti modern. Dengan gerakan
syu'ubiah itu, orang-orang Persia ingin menonjolkan kebudayaan lama
mereka kembali dan membuatnya mempunyai kedudukan yang
sederajat dengan kebudayaan Arab dalam masyarakat Islam yang ada di
waktu itu. Sebagaimana dilihat dalam sejarah, bangsa Persia berhasil
dalam usaha mereka itu. Bahasa dan kebudayaan Persia menjadi bahasa
dan kebudayaan yang diakui dalam Islam.
Di samping orang-orang Islam, baik Arab maupun bukan Arab,
terdapat pula orang-orang bukan Islam yang memeluk agama-agama
lain, terutama agama Kristen dan Yahudi. Orang-orang ini disebut ahl
al-zimmah ( ). Mereka adalah pemeluk agama
agama lain yang memilih tetap tinggal di bawah naungan Islam dengan
membayar jizyah ( ) yang dapat diartikan pajak naungan.
Adapun daerahnya karena begitu luas dibahagi kedalam beberapa
propinsi. Di zaman Bani Umayyah dan Bani Abbas umpamanya,
terdapat propinsi-propinsi berikut : Hejaz, Suria, Irak, Persia, Mesir,
Afrika, Arabia Selatan, Armenia dan India. Andalusia (Spanyol Islam)
di zaman Bani Abbas merupakan negara Islam yang berdiri sendiri. Di
2
zaman kejayaan Bani Usman (Kerajaan Ottoman) jumlah propinsi
bertambah banyak dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam ke benua
Eropa, antara lain : Rumelia (daerah yang terletak di Selatan Sungai
Danub), Hongaria Barat, Hongaria Timur dan sekitarnya, Anatolia,
Trebizond (daerah di Selatan Laut Hitam), Van (Armenia dan
Kurdistan), Suria, Palestina, Mesir, Hejaz, Yaman serta Aden, Al-
Jazair, Irak dan lain-lain.
Demikianlah masyarakat dan daerah yang diatur negara Islam
dimasa yang lampau.
Sebagai telah dilihat dalam Bab V, negara Islam dikepalai oleh
seorang Khalifah, baik dalam bentuk Kepala Negara yang dipilih
maupun dalam bentuk Raja yang jabatannya mempunyai sifat turuntemurun.
Dalam menjalankan tugas pemerintahan, Khalifah dibantu
oleh seorang wazir yang menjadi pembantu utama, penasehat dan
tangan kanannya. Di bawah wazir terdapat beberapa diwan
(departemen) umpamanya Diwan Al-Kharaj ( ), Departemen
Pajak Tanah, Bait Al-Mal / Departemen Keuangan, Diwan
Al-Jaisy ( ) (Departemen Pertahanan) dan lain
sebagainya. Tiap Diwan dipimpin oleh seorang kepala. Rapat para
Kepala Diwan diketuai oleh Wazir. Dengan demikian Wazir pada
hakikatnya mempunyai kedudukan Perdana Menteri.
Ada kalanya Wazir mempunyai kekuasaan penuh, yaitu diketika
seorang Khalifah kurang mementingkan soal-soal pemerintahan: Dalam
keadaan demikian Wazir dapat berbuat sekehendaknya dan dapat
menjatuhkan dan mengangkat gubernur-gubernur daerah yang
berkedudukan tinggi dan penting itu menurut kemauannya. Dalam
sejarah terdapat wazir-wazir penting dan kuat, seperti wazir-wazir
keturunan keluarga Baramikah di zaman kejayaan Bani Abbas.
Di samping Wazir terkadang terdapat pula Hajib (Kepala Rumah
Tangga Istana). Hajib yang kuat dapat mempunyai kekuasaan yang
lebih tinggi dzri kekuasaan Wazir.
Di ketika menurunnya prestise dan kekuasaan Khalifah di zaman
Bani Abbas, pembesar yang berkuasa di pemerintahan pusat bukan lagi
Wazir atau Hajib, tetapi Amir Al-Umara' (Kepala Panglima) atau
Sultan. Sebagai telah disebut, Khalifah Al-Mu'tasim mendirikan
Tentara Pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Pada akhirnya
Tentara Pengawal ini begitu berkuasa di Bagdad sehingga mereka dapat
menjatuhkan dan mengangkat Khalifah sekehendak mereka. Di zaman
Khalifah AI-Muqtadir (908 - 932 M) Panglima Tentara Pengawal itu
diberi gelar baru, 'Amir Al-Umara', dan Amir AlUmara' inilah
sebenarnya yang memegang kekuasaan di pusat pemerintahan.
Setelah Bagdad jatuh ke tangan kekuasaan Dinasti Buwaihi dan
Tentara Pengawal Turki lari di tahun 945 M, kekuasaan Amir Al-
Umara' dipegang oleh Raja-raja Buwaihi. Seratus tahun kemudian
3
kekuasaan itu dirampas oleh kaum Saljuk. Gelar Amir Al-Umara'
mereka robah menjadi Sultan dan yang berkuasa penuh di
pemerintahan pusat adalah Sultan ini.
Kepala Daerah pada mulanya diberi nama ‘Amil, dan kemudian
lebih dikenal dengan nama Amir. 'Amil lebih banyak mempunyai tugas
mengumpulkan zakat, sedangkan Amir adalah panglima. Selanjutnya
juga dipakai kata Wali dan Hakim. Di tangan Kepala Daerah-lah
terletak pemerintahan daerah dan karena komunikasi dengan ibu kota
sulit, para Kepala Daerah mempunyai kekuasaan otonom yang bukan
kecil, terlebih-lebih di daerah-daerah yang jauh dari ibu kota, yang pada
mulanya adalah Damaskus dan kemudian Bagdad. Dalam hubungan
dengan pusat pemerintahan, tugas mereka yang terpenting adalah
mengumpulkan zakat dan pajak untuk dikirimkan kepada Khalifah.
Dalam prinsipnya, Kepala Daerah diangkat atas putusan Khalifah,
tetapi dengan berkurangnya kekuasaan Khalifah dan timbulnya Dinastidinasti,
pada mulanya di daerah-daerah yang jauh, tetapi kemudian juga
di daerah-daerah yang dekat dengan Pusat, jabatan Kepala Daerah
mempunyai sifat turun-temurun. Khalifah hanya memberikan
pengakuan formil kepada mereka. Di antaranya ada yang tetap
memakai titel Amir, tetapi ada pula yang mempergunakan gelar Sultan
(seperti Dinasti Salahuddin dan Mamluk) dan Amir Al-Muslimin
(seperti Dinasti Al-Murabit) di Afrika Utara.
Keuangan negara bersumber terutama pada kharaj, pajak yang
dipungut atas tanah. Kharaj dikumpulkan oleh Kepala Daerah dan
setelah memotong perbelanjaan yang diperlukan oleh daerahnya,
sisanya dikirim ke pusat. Begitu pentingnya pajak ini sehingga di
pemerintahan pusat terdapat suatu departemen khusus untuk
mengurusnya, yaitu. Diwan Al-Kharaj. Di samping kharaj adalagi zakat
yang dibayar oleh warga negara yang beragama Islam, dan jizyah yang
dipungut dari warga negara bukan Nam. Sumbersumber keuangan
lainnya ialah dagang transit, bea import atas barang-barang yang
dimasukkan melalui pelabuhan-pelabuhan seperti Suez, Alexandria dan
Jeddah, pajak atas barang-barang mewah, pajak atas mas serta perak
dan pajak pertambangan.
Semua penghasilan itu dikumpulkan di Bait Al-Mal. Di zaman
Khalifah Harun Al-Rasyid (786 - 809 M) pendapatan negara berjumlah
500 juta dirham (mata uang perak berharga kira-kira Rp.100,-) setahun.
Bait Al-Mal terbagi dua, Bait Al-Mal Al-'Am ( ) dan Bait
Al-Mal AI-Khas ( ). Yang tersebut akhir ini dikhususkan
untuk pengeluaran-pengeluaran yang dilaksanakan Khalifah dan yang
pertama untuk pengeluaran-pengeluaran lainnya. Keduanya dikepalai
oleh satu orang.
4
Penerimaan dan pengeluaran negara dikontrol oleh suatu departemen
khusus yang diberi nama Diwan Al-Nafaqat ( ) atau
Diwan Al-Azimmah ( ).
Hubungan antara pusat dengan daerah dan sebalikuya dilakukan
dengan pos (al-barid - ). Sistem pos ini dimulai oleh
Mu'awiah dan berkembang di masa Bani Abbas, sehingga merupakan
satu departemen yang diberi nama Diwan Al-Barid. Kepala
Departemen ini disebut Sahib Al-Barid ( ) Berlainan
dengan pos modern, Al-Barid pada umumnya mengurus korespondensi
negara dan hanya sedikit mengurus korospondensi rakyat. Markas besar
Al-Barid terdapat di Bagdad dan tiap ibu kota mempunyai pusat posnya
sendiri. Alat yang dipakai untuk pengangkutan adalah kuda, onta dan
keledai. Untuk pengiriman sutat-surat dipakai juga burung dara. Al-
Barid juga dipergunakan untuk mengangkut pasukan ke tempat yang
mereka tuju dan pejabat-pejabat yang baru diangkat ke tempat
kedudukannya.
Di Markas Besar Al-Barid di Bagdad terdapat keterangan lengkap
mengenai jaringan pos yang ada di seluruh daerah negara. Dalam
jaringan itu Bagdad dihubungkan sampai ke perbatasan Cina. Buku
keterangan itu mencakup penjelasan bukan hanya tentang stasionstasion,
tetapi juga tentang daerah-daerah yang dilalui.
Sahib Al-Barid, di samping tugas mengurus pos negara, juga
mempunyai tugas mengepalai urusan intelijen. Kepala-kepala pos
daerah menyampaikan kepadanya berita-berita rahasia - mengenai
keadaan daerah, tingkah laku Kepala Daerah dan lain sebagainya. Dari
berita-berita yang diterimanya ia membuat laporan untuk disampaikan
kepada Khalifah. Oleh karena itu nama lengkap dari Kepala
Departemen Pos ini ialah Sahib Al-Barid wa Al-Akhbar
( ) Kepala Pos dan Intelijen.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai pengganti Nabi dalam
mengurus soal duniawi umat, Khalifah bukan hanya merupakan Kepala
Negara, tetapi juga Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Dalam
fungsinya ini ia disebut Amir A1-Mu'minin ( ). Jabatanjabatan
yang terdapat dalam Angkatan Darat ialah Amir (Jenderal),
mengepalai unit yang berjumlah sepuluh ribu orang qa'id mengepalai
seratus, khalifah mengepalai lima puluh dan 'arif memimpin sepuluh
prajurit.
Mereka terbagi dalam dua golongan besar, tentara tetap
(murtaziqah) yang mendapat gaji tetap dan tentara tidak tetap
(mutatawwi'ah) yang mendapat pembayaran hanya selama ikut
berperang. Inti tentara tetap biasanya terdiri dari Tentara Pengawal
Khalifah. Untuk pertempuran dikumpalkan puluhan ribu prajurit.
Dikhabarkan bahwa dalam pertempuran antara kekuatan Bani Umayyah
5
dan Bani Abbas yang tersebut akhir ini mempergunakan duapuluh ribu
dan Bani Umayyah lebih dari seratus ribu orang.
Tentara tersusun dari harbiah (infantri), ramiah (pemanah) dan
fursan (kavaleri), Senjata yang dipakai ialah pedang beserta perisai,
tombak, panah, ali-ali (catapults), mangonel (pelempar batu), dabbabah
(alat serangan terhadap kota yang dibentengi tembok) dan kemudian
juga senjata api. Untuk menjaga diri dari panah api, para pelempar
memakai pakaian tahan api.
Dalam rombongan tentara terdapat pula insinyur, dokter, qadi
atau hakim untuk mengurus soal pembagian harta perang, penunjuk
jalan (raid) untuk mengurus soal perkemahan, penterjemah dan juru
tulis.
Di samping Angkatan Darat, Kerajaan-kerajaan Islam di masa
lampau juga mempunyai Angkatan Laut. Dalam serangan-serangan ke
daratan Eropa Khalifah-khalifah memakai kapal-kapal yang berjumlah
ratusan. Disebut bahwa Mu'awiah, mengirim lebih dari dua ratus kapal
dalam serangan-serangannya terhadap Kerajaan Bizantium
dipertengahan abad ke tujuh Masehi. Dalam serangan terhadap
Konstantinopel di abad kedelapan, Angkatan Laut Khalifah terdiri atas
1800 kapal. Dinasti-dinasti lainnya juga mementingkan soal armada
dengan membuat kapal-kapal perang di kota-kota pelabuhan seperti
Alexandria dan Dimyat di Mesir. Sultan Salahuddin, malahan
mempunyai satu departemen yang khusus mengurus soal pembiayaan
dan pemeliharaan kapal-kapal perangnya. Kerajaan Usmani, yang
daerah kekuasaannya meluas sampai ke Eropa, disegani bukan hanya
karena Angkatan Daratnya tetapi juga karena Angkatan Lautnya.
Kapal-kapal perang Sultan Sulayman (1520 - 1566) melayari perairan
Lautan Tengah, Lautan Merah dan Lautan India. Salah satu Panglima
Angkatan Laut Kerajaan Usmani yang terkenal ialah Khairuddin Pasya
yang di Eropa dikenal dengan nama Barbarosa. Aljazair merupakan
markas besarnya dalam serangan-serangan terliadap India dan Spanyol
di abad ke enambelas.
Pendidikan dalam sejarah Islam pada mulanya diberikan di
mesjid, tetapi kemudian di sekolah-sekolah yang disebut kuttab atau
madrasah. Ini merupakan sekolah dasar di mana anak-anak diberi
pelajaran membaca serta menghafal Al-Qur-an, riwayat hidup Nabi
Muhammad, nahwu, sharaf, berhitung dan menulis. Kalau sekolah
serupa ini adalah untuk orang umum, Khalifah dan orang-orang kaya
menggaji guru untuk memberi pelajaran pada anak mereka di istana
atau di rumah.
Pelajaran tingkat lebih tinggi diberikan di madrasah. Salah satu
madrasah yang terkenal dalam Islam ialah Madrasah Al-Nizamiah yang
didirikan oleh Nizam Al-Mulk, Perdana Menteri dari Sultan Sultan
Saljuk Alp Arselan dan Nialiksyah, di tahun 1065 M di Bagdad.
Kemudian madrasah-madrasah serupa didirikan di kota-kota lain di
Suria, Persia dan Irak sendiri. Di antara mata pelajaran-mata pelajaran
6
yang diberikan di madrasah-madrasah ini adalah teologi, hukum Islam,
falsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam yaitu di samping tafsir,
hadis, sejarah Islam dan sebagainya. Mazhab yang diajarkan di sana
adalah mazhab Syafi'i dan aliran teologinya adalah aliran Asy'ariah.
Di antara Mahagurunya terdapat Imam Al-Haramain dan Al-
Ghazali. Imam Al-Haramain mengajar di Nisyapur (Persia) dan Al-
Ghazali mengajar di Bagdad. Dosen disebut mudarris dibantu oleh
seorang asisten, mu'id yang tugasnya ialah membantu mahasiswa yang
lemah daya tangkapnya dalam memahami kuliah yang diberikan dosen.
Di samping madrasah-madrasah AI-Nizamiah terdapat lagi
madrasah Al-Mustansirih yang didirikan Khalifah Al-Mustansir di
tahun 1234 M. Madrasah ini, di samping perpustakaan, juga
mempunyai rumah sakit.
Pendidikan tinggi dibentuk juga di lembaga-lembaga lain seperti
Bait Al-Hikmah yang didirikan Khalifah Al-Makmun di tahun 830 M
di Bagdad dan Dar Al-Hikmah yang dibangun oleh Khalifah Fatimiah
Al-Hakim di Cairo di tahun 1005 M. Di Dar Al-Hikmah diajarkan
aliran Syi'ah. Di Coruova Abd Al-Ra.hman III mendirikan Universitas
Cordova yang dikunjungi mahasiswa Islam dan Kristen, bukan Kristen
dari Spanyol saja tetapi juga dari daerah-daerah lain di Eropa. Untuk
menampung Universitas itu Mesjid Besar Cordova diperbesar. Di tahun
972 M Mesjid Al-Azhar didirikan oleh Panglima Fatimi Jawhar Al-
Saqilli di Cairo yang beberapa tahun kemudian dijadikan Universitas
oleh Khalifah Al-Aziz (975 - 996 M). Sebagai diketahui sampai
sekarang Al-Azhar masih ada dan altan merayakan ulang tahunnya
yang keseribu dalam waktu dekat.
Pendidikan non-formil untuk dewasa diberikan di mesjid. Mesjid
pada umumnya juga merupakan tempat kuliah di mana alim ulama
mengajarkan tafsir, hadis, bahkan juga bahasa dan sastra Arab.
Selain dari madrasah dan mesjid, perpustakaan juga merupakan
tempat mencari ilmu-pengetahuan. Perpustakaan-perpustakaan
didirikan oleh orang-orang kaya. Di dalamnya terkandung bukan hanya
buku-buku mengenai pengetahuan agama, tetapi juga pengetahuan nonagama
seperti falsafat, logika, astronomi, matematika dan ilmu-ilmu
pengetahuan lain. Khalifah dan Sultan biasanya mempunyai
perpustakaan khusus. Selanjutnya di mesjid-mesjid besar terdapat juga
perpustakaan-perpustakaan. Perpustakaan-perpustakaan ini dikunjungi
oleh orang-orang yang ingin mencari dan menambah pengetahuan,
terutama kaum ulama dan filosof. Perpustakaan-perpustakaan
dipergunakan juga sebagai tempat diskusi.
Hukum yang dipakai dalam mengatur masyarakat di zaman
Kerajaan-kerajaan Islam di masa lampau bukan hanya hukum fikih,
tetapi juga hukum sebagai diputuskan oleh Khalifah atau Sultan.
Hukum ini kemudian diberi nama iradah saniyah. Adapula hukum
yang dibuat oleh rapat Menteri dengan persetujuan Khalifah atau Sultan
dan ini disebut qanun..
7
Qanun mengurus soala-soal administrasi negara dan soal-soal
yang mempunyai corak politik seperti pemberontakan, soal pemalsuan
uang, pelanggaran hukum, dan sebagainya. Hukum dalam bentuk
putusan Khalifah mengurus pertikaian-pertikaian yang biasa timbul
setiap hari.
Qanun berkembang di zaman Kerajaan Usmani, terutama di
bawah Sulayman I, sehingga ia terkenal dengan nama Sulayman Al-
Qanuni.
Di zaman Nabi Muhammad kekuasaan legislatif, exekutif dan
judikatif terkumpul di tangan beliau. Beliaulah yang menentukan
hukum, beliaulah yang menjalankan pemerintahan dan beliau pula lah
yang melaksanakan hukum. Khalifah sebagai pengganti beliau,
bertugas selain dari menjalankan pemerintahan, juga melaksanakan
hukum. Pada mulanya Khalifah sendiri yang memutuskan perkaraperkara
yang timbul dalam masyarakat. Orang-orang yang mempunyai
perkara langsung pergi kepada Khalifah untuk mendapat penyelesaian.
Tetapi kemudian soal pelaksanaan hukum ini diserahkan kepada
wakil-wakil Khalifah. Pelaksanaan hukum Syari'ah diserahkan kepada
qadi dan pelaksanaan non-Syari'ah, seperti qanun kepada sahid alsyurtah
atau hajib.
Pada mulanya qadi terdapat hanya di kota-kota besar, tetapi
kemudian juga di kota-kota kecil. Bahkan di suatu kota terdapat
beberapa qadi. Sebagai kepala mereka diangkat qadi al-qudah.
Selanjutnya terdapat lagi apa yang disebut qadi alyund atau qadi al-
'askar yang mempunyai tugas menyelesaikan perkara-perkara di
lapangan militer. Di samping qadi, qadi al-qudah dan qadi al-'askar,
ada lagi nazir al-mazalim. Tugasnya sebagaimana dapat dilihat dari
namanya ialah menyelesaikan soal-soal perlakuan tidak adil atau
penganiayaan yang dijalankan oleh pejabat pemerintah terhadap rakyat,
umpamanya pajak terlalu tinggi, pensitaan harta dengan tidak sah dan
sebagainya. Nazir al-mazalim mempunyai kekuasaan yang lebih luas
dari qadi, dan yang bertindak sebagai nazir al-mazalim terkadang ialah
wasir sendiri, terkadang pegawai tinggi lainnya dan terkadang tugas itu
diserahkan kepada seorang yang diangkat khusus untuk itu.
Dalam penyelesaian perkara-perkara, kalau yang menyelesaikannya
ialah Khalifah. Sultan atau Wazir sendiri, maka untuk itu
diadakan hari tertentu setiap minggu di Istana; dan kalau yang
menyelesaikannya ialah qadi atau nazir mazalim, maka sidang
diadakan tiap hari. Sidangnya biasanya mengambil tempat dimesjid.
Untuk menjaga keamanan dalam kota dan sebagainya diadakan
lembaga kepolisian yang disebut syurtah. Kepalanya adalah sahib alsyurtah
dan terkadang disebut juga sahib al-mu'unah atau wali.
Tugasnya ialah mencegah timbulnya kejahatan-kejahatan kriminil,
memeriksa pelanggaran-pelanggaran hukum dan menghukum orang
yang bersalah. Hukum yang dipakainya dalam hal ini ialah hukum adat
setempat.
8
Berlainan dengan qadi, sahib al-syurtah mempunyai wewenang
untuk mengadakan pemeriksaan di luar tempat sidang, umpamanya
untuk memeriksa kejahatan kriminil yang betul-betul terjadi atau yang
dilaporkan terjadi ataupun untuk memperoleh pengakuan dari tertuduh.
Sahib al-syurtah dapat bertindak hanya atas pengaduan dari yang
berkepentingan seperti pengaduan tentang pencurian perampasan,
penipuan, perzinahan dan sebagainya.
Di samping sahib al-syurtah terdapat seorang muhtasib yang
bertugas mengurus soal-soal pelanggaran hukum, yang bersifat lebih
ringan dan pelanggaran ajaran-ajaran moral. Yang termasuk dalam
bidang tugasnya adalah pelanggaranpelanggaran mengenai timbangan
dan ukuran, penipuan dalam penjualan, penolakan pembayaran hutang,
soal riba, pelanggaran tentang minuman keras, permainan judi dan
sebagainya. Dalam tugasnya termasuk juga soal pelaksanaan ibadat,
seperti pengadaan shalat Jum'at, orang yang tidak berpuasa di bulan
Ramadan, janda yang tidak memperdulikan waktu iddahnya dan
sebagainya. Juga termasuk dalam kekuasaannya soal kekejaman
terhadap pembantu rumah, dan binatang piaraan seperti kuda yang
kurang diberi makan tetapi diberi beban yang terlalu berat.
Di samping jabatan jabatan tersebut di atas masih ada lagi satu
jabatan yang diberi nama mufti. Ahli-ahli hukum Islam selalu mendapat
pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dari masyarakat. Jawaban yang
diberikan ahli hukum itu disebut fatwa dan yang memberi jawaban itu
sendiri disebut mufti. Ada mufti yang diangkat Khalifah atau Sultan dan
dengan demikian timbullah jabatan mufti yang resmi dalam negara.
Fatwa yang diberikan mufti inilah yang menjadi pegangan negara.
Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Usmani mufti resmi itu diberi
gelar Syaikh Al-Islam. Kalau Syaikh Al-Islam mewakili Khalifah atau
Sultan dalam melaksanakan wewenang agamawinya, Sadr Al-A'zam.
Perdana Menteri, mewakili Kepala Negara dalam melaksanakan
wewenang duniawinya.
Lembaga yang erat hubungannya dengan urusan sosial dalam
Islam adalah wakaf. Wakaf mengandung arti penyerahan harta,
biasanya dalam bentuk tanah, gedong, rumah dan sebagainya, oleh
pemiliknya untuk keperluan-keperluan sosial seperti pembinaan dan
pemeliharaan madrasah, rumah sakit, jembatan, asrama, persediaan air
untuk umum dan sebagainya. Harta yang diwakafkan diurus oleh orang
atau yayasan yang ditunjuk oleh pemberi wakaf dan penghasilan harta
itulah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan sosial tersebut di
atas. Sistem wakaf ini tersebar luas di iunia Islam di masa yang lampau
dan sampai sekarang masih terdapat di beberapa negara.
Administrasinya kemudian diambil oleh negara untuk itu diadakan
Wizarah Al-Awqaf (Kementerian Urusan Wakaf). Di Mesir Wizarah
Al-Awakaf inilah yang mengurus soal-soal mesjid, pembinaan serta
pemeliharaannya, termasuk dalamnya soal pengangkatan dan gaji
imam, muazzin dan pegawai mesjid lainnya. Universitas Azhar
9
memperoleh keuangannya dari sistem wakaf ini, dan harta yang
diwakafkan untuk Al-Azhar sanggup memberi sumbangan keuangan
ataupun bea-siswa kepada para mahasiswa yang belajar di sana, dan
mengirim tenaga-tenaga pengajar ke negara-negara Islam lainnya atas
tanggungan Al-Azhar sendiri.
Untuk urusan kesehatan telah disebut di atas bahwa wakaf
dipergunakan dalam mendirikan dan membiayai pemeliharaan rumahrumah
sakit. Dari semenjak semula dalam sejarah Islam rumah rumah
sakit telah didirikan oleh berbagai Khalifah. Khalifah AlWalid (705 -
715 M) memberi perintah kepada gubernur-gubernurnya untuk
mendirikan rumah-rumah sakit di daerahnya. Bagdad di bawah Harun
Al-Rasyid (786 - 809 M) telah mempunyai rumah sakit dan demikian
pula Cairo, yang didirikan oleh Ibn Tulun pada tahun 872 M. Nama
yang dipakai untuk rumah sakit waktu itu ialah kata Persia bimaristan.
Rumah-rumah sakit mempunyai bahagian pria dan wanita.
Di antara rumah-rumah sakit itu ada yang mempunyai
perpustakaan sendiri dan ada pula yang memberikan kursus ilmu
kedokteran. Di rumah-rumah sakit Bagdad, dokter-dokter kepala dan
ahli-ahli bedah memberi kuliah kepada mahasiswa untuk kemudian
diuji dan diberi ijazah. Pelajaran diberikan bukan hanya dalam bentuk
teori saja tetapi juga dalam bentuk praktikum.
Al-Maristan Al-Mansuri di Cairo yang didirikan oleh Sultan
Mamluk Qalawun di tahun 1284 M, mempunyai gedung sekolah
kedokteran, mesjid, bagian-bagian untuk berbagai macam penyakit
seperti demam panas, disenteri dan sebagainya, laboratorium, apotek,
tempat mandi dan lain-lain. Penghasilan wakaf yang disediakan untuk
rumah sakit itu berjumlah satu juta dirham per tahun.
Di samping rumah-rumah sakit terdapat pula klinik-klinik yang
berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memberi pengobatan
kepada masyarakat.
Rumah-rumah sakit yang banyak terdapat di dunia Islam
mempunyai pengaruhnya, melalui Perang Salib, terhadap pembentukan
rumah-rumah sakit di Eropa. Ilmu kedokteran yang ada di dunia Islam
pada waktu itu lebih tinggi dari ilmu pengobatan yang dilakukan di
Eropa.

Rabu, 17 Juni 2009

ASPEK POLITIK

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan politik.



Sewaktu Nabi mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah beliau belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri sendiri. Umat Islam diwaktu itu baru dalam kedudukan lemah, tidak sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi bersama Sahabat dan umat Islam lainnya, seperti diketahui, terpaksa meninggalkan kota ini dan pindah ke Yasrib, yang kemudian terkenal dengan nama Medinah, yaitu Kota Nabi.



Di kota ini keadaan Nabi dan Umat Islam mengalami perobahan yang besar. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupak umat lemah yang tertindas, di Medinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat d dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarak yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu nega suatu negara yang daerah kekuasaannya diakhir zaman Nabi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Dengan kata lain di Medinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah tetapi juga mempunyai sifat Kepala Negara.



Jadi sesudah beliau wafat, beliau mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Dalam kedudukan sebagai Rasul, beliau tentu tak dapat diganti. Sebagaimana diketahui dari sejarah pengganti beliau yang pertama ialah Abu Bakr. Bakr menjadi Kepala Negara yang ada pada waktu itu dengan gelar Khalifah, yang arti lafzinya ialah Pengganti (Inggeris : Successor). Kemudian setelah Abu Bakr wafat, Umar Ibn Al-Khattab menggantikan beliau sebagai Khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan menjadi Khalifah yang ketiga dan pada mulai timbul persoalan-persoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai oranglemah dan tak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat Arab pada waktu itu. la mengangkati mereka menjadi Gubernur-gubernur di daerah-daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar, Khalifah yang dikenal sebagai orang kuat dan tidak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya dijatuhkan oleh Usman. Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi kedudukan Usman sebagai Khalifah. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhirnya berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi Khalifah atau orang-orang yang ingin calonnya menjadi Khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul itu. Di daerah-daerah timbul perasaan tidak senang. Di Mesir Amr Ibn Al-Aas dijatuhkan sebagai Gubernur dan diganti dengan Ibn Abi Sarh, salah seorang dari anggauta keluarga Usman. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pemberontak bergerak dari Mesir merruju Medinah. Perkembangan suasana di Medinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemukapemuka pemberontak dari Mesir itu.


Setelah Usman wafat, Ali Ibn Abi Talib, sebagai calon terkuat, menjadi Khalifah yang ke-empat. Tetapi segera ia mendapat tantangan pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Dalam peperangan yang terjadi Talhah dan Zubeir mati terbunuh, sedang Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.


Tantangan kedua datang dari Mu'awiah, gubernur Damaskus dan anggota keluarga yang terdekat dengan Usman Ibn Affan: Mu'awiah tidak mengakui Ali sebagai Khalifah bahkan ia menuduh Ali turut campur tangan dalam soal pembunuhan Usman, karena salah satu dari pemberontak, Muhammad, adalal anak angkat Ali. Antara golongan akhirnya terjadi peperangan di Siffin, Irak. Tentara Ali dapat mendesak tentara Mu'awiah sehingga yang tersebut akhir ini telah untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu'awiah, Amr Ibn Al-Aas, terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkatkan Al-Qur-an ke atas. Imam-Imam yang ada dipihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawarar itu dan dengan demikian perdamaaan dengan mengadakan hakam yaitu arbitrase. pengantara diangkat dua orang : Amr Ibn Al-Aas dari pihak
Mu'awiah dan Abu Musa Al-Asy'aru.dari pihak Ali.


Dalam pertemuan mereka berdua, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa antara keduanya permufakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu'awiah Dan tradisi menyebut bahwa Abu Musa sebagai yang tertua, berbicara lebih dahulu dan mengumumkan kepada orang ramai putusar menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Tetapi Amr, yang berbicara kemudian mengumumkan hanya menyetujui untuk menjatuhkan Ali sebagai telah dijelaskan Abu Musa dan menolak untuk menjatuhkan Mu'awiah. Peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu'awiah. Mu'awiah yang pada mulanya hanya berkedudukan Gubernur kini telah naik derajatnya menjadi Khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini tidak diterima Ali dan tak mau meletakkan jabatan sehingga ia mati terbunuh di tahun 661 M. Tetapi ia tidak dapat lagi melawan Mu'awiah, bukan hanya karena telah mempunyai saingan dalam kedudukannya sebagai Khalifah, tetapi juga kekuatan militernya telah pula menjadi lemah.



Keadaan Ali menerima tipu muslihat Amr mengadakan arbitrase sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian dari tentaranya. Tentara ini mengasingkan diri dan ke luar dari barisan Ali. terkanal dalam sejarah dengan nama Khawarij, itu orang-orang yang keluar. Mereka mengatur barisan mereka dan selanjutnya menentang Ali. Antara Ali dan mereka terjadi peperangan. Dalam peperangan itu kaum Khawarij kalah, tetapi tentara Ali telah terlalu lemah untuk dapat meneruskan peperangan melawan Mu'awiah. Mu'awiah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah ifatnya Ali ia dengan mudah dapat memperkuat kedudukannya bagai Khalifah di tahun 4661 M.



Dari sejarah ringkas di atas dapat dilihat bahwa pada waktu itu telah timbul-tiga golongan politik, golongan Ali yang kemudian dikenal dengan nama Syi’ah, golongan yang keIuar dari barisan Ali yaitu. Kaum Khawarij dan golongan Mu’awiyah, yang kemudian membentuk Bani Ummayah dan membawa sistem kerajaan dalam Islam.



Perlu dijelaskan bahwa khalifah (pemerintahan); yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad, tidak mempunyai bentuk kerajaan; tetapi lebih dekat merupakan republic, dalam arti, Kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Sebagai diketahui Khalifah pertama adalah Abu Bakar dan beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad. Khalifah kedua, Umar ibn Al-Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar, demikian pula Khalifah ketiga Usman Ibn Affan dan halifah keempat Ali Ibn Talib, satu sama lain tidak mempunyai ubungan darah. Mereka adalah sahabat Nabi dan dengan demikian hubungan mereka sesama mereka merupakan hubungan persahabatan.


Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah bukan atas tunjukan Nabi Muhammad, karena beliau wafat dengan tidak meninggalkan perintah ataupun pesan tentang pengganti beliau sebagai Kepala negara. Abu Bakar diangkat atas dasar permufakatan pemuka-pemuka Ansar dan Muhajirin dalam rapat Saqifah di Medinah. Pengangkatan itu kemudian mendapat persetujuan dan pengakuan mat, yang dalam istilah Arabnya disebut bay'ah ( ).



Umar menjadi Khalifah kedua atas pencalonan Abu Bakar yang segera juga mendapat persetujuan umat. Penentuan Usman sebagai pengganti Umar dirundingkan dalam rapat Enam Sahabat. Usman juga segera mendapat bay'ah dari umat. Setelah Usman mati terbunuh, Alilah merupakan calon terkuat untuk menjadi Khalifah keempat. Tetapi bay’ah yang diterima Ali tidak lagi sebulat bay'ah yang diberikan umat kepada khalifah-khalifah sebelumnya. Khalifah Ali, sebagai dilihat di atas, mendapat tantangan dari Mu'awiah di Damaskus dan dari Talhah, Zubeir dan Aisyah di Mekkah.

Demikianlah ungkapan sejarah tentang pengangkatan sahabat-sahabat Nabi Muhammad itu menjadi Khalifah. Jelas bahwa cara pengangkatan Kepala Negara sebagai yang diungkapkan sejarah ini, bukanlah cara yang dipakai dalam sistem kerajaan. Cara itu lebih sesuai untuk dimasukkan ke dalam sistem pengangkatan Kepala Negara dalam pemerintahan demokrasi.



Dalam pada itu perlu ditegaskan bahwa menurut pendapat umum yang ada dizaman itu, seorang Khalifah haruslah berasal dari suku Quraisy. Pendapat ini didasarkan atas hadis yang membuat Quraisy mempunyai kedudukan lebih tinggi dari suku-suku Arab lainnya dan terutama hadis : Imam-imam adalah dari Quraisy ( ). Keempat Khalifah Besar memang orangorang ternama dari suku Quraisy dan demikian juga dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbas, semuanya berasal dari suku Nabi Muha.mmad itu. Pendapat ini kemudian menjadi teori ketatanegaraan yang dianut oleh Ahli Sunnah.



Kaum Khawarij tidak setuju dengan faham di atas. Menurut pendapat mereka khilafah (jabatan Kepala Negara) bukanlah hak monopoli dari suku Quraisy. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya, bahkan juga tidak antara Arab dan bukan Arab. Oleh karena itu dalam teori politik mereka; tiap orang Islam sekalipun ia bukan orang Arab, boleh menjadi Khalifah, asal saja ia mempunyai kesanggupan untuk itu.



Dan berlawanan dengan faham yang dibawa oleh Mu'awiah, khalifah bagi kaum Khawarij tidak mempunyai sifat turun-temurun dari bapak kepada turunannya. Dengan lain kata, mereka tidak setuju dengan sistem kerajaan. Selanjutnya mereka berpendapat bahwa Khalifah yang melanggar ajaran-ajaran agama wajib dijatuhkan, bahkan dibunuh.



Sementara itu, seorang pemuka Khawarij bernama Najdah Ibn Amr Al-Hanafi mempunyai faham bahwa Kepala Negara diperlukan jika maslahat umat menghendaki yang demikian. pada
hakekatnya, demikian Najdah, ummat tidak berhajat pada adanya Khalifah atau Imam untuk memimpin mereka. Dalam hal ini, ia sebenarnya dekat dengan faham komunis yang mengatakan bahwa negara akan hilang dengan sendirinya dalam masyarakat komunis.



Kaum Khawarij dalam sejarah pecah menjadi beberapa kelompok, tetapi perbedaan faham mereka berkisar sekitar masalahmasalah teologi. Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam pembahasan aspek teologi.



Tetapi bagaimanapun, teori politik mereka bersifat lebih demokratis dari teori-teori politik yang dianut oleh golongan-golongan politik Islam lain dizaman itu.



Kaum Syi'ah, berlainan dengan kaum Khawarij, berpendapat bahwa jabatan Kepala Negara bukanlah hak tiap orang Islam, bahkan pula tidak hak setiap orarag Quraisy, sebagai tersebut dalam teori yang kemudian dianut oleh Ahli Sunnah itu. Dalam faham kaum Syi'ah imamah (jabatan Kepala Negara) adalah hak monopoli Ali Ibn Abi Talib dan keturunannya. Perlu ditegaskan bahwa nama yang dipakai golongan Syi'ah untuk Kepala Negara adalah Imam.



Sesuai dengan faham yang dibawa oleh Mu'awiah, imamah dalam teori Syi'ah mempunyai bentuk kerajaan dan turun-temurun dari bapak ke anak, seterusnya ke cucu dan demikian selanjutnya. Semestinya yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai Kepala Negara dalam faham Syi'ah, adalah anak beliau. Tetapi karena beliau tak mempunyai laki-laki yang hidup, jabatan itu seharusnya pergi ke anggota keluarga beliau yang terdekat.



Ali Ibn Abi Talib, adalah anak paman beliau dan yang terpenting
lagi adalah pula menantu beliau. Oleh karena itu, Ali-lah anggota
keluarga Nabi yang terdekat. Dengan demikian, yang menggantikan
Nabi Muhammad sebagai Kepala Negara seharusnyalah Ali, dan
seterusnya anak-anak serta cucu-cucunya dan bukan Abu Bakar, Umar,
Usman, Bani Umayyah dan Bani Abbas. Oleh sebab itu khilafah Abu
Bakar, Umar dan Usman tidak diakui oleh kebanyakan kaum Syi'ah dan
demikian juga pemerintahan Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani
Abbas.



Dalam sejarah mereka memang menentang Dinasti Bani
Umayyah dan aktif bekerja sama dengan Bani Abbas dalam
menjatuhkan Kerajaan yang dibentuk Mu'awiah itu. Tetapi setelah
ternyata bahwa Bani Abbas memonopoli kekuasaan untuk mereka
sendiri dan kemudian membentuk Dinasti Bani Abbas, kaum Syi'ah
mengambil sikap melawan terhadap mereka. Perlawanan itu menjelma
dalam bentuk gerakan-gerakan seperti yang dijalankan golongan
Qaramitah, Hasysyasyin, dan sebagainya. Gerakan mereka akhirnya
mewujudkan khilafah Syi'ah di Mesir, yaitu khilafah Fatimiah (969 -
1171 M) dan kerajaan Syi'ah di Iran semenjak tahun 1502 M.
Dalam pada itu, kaum Syi'ah juga pecah ke dalam beberapa
golongan. Yang terbesar ialah golongan Syi'ah Dua belas ( ).
Mereka disebut Syi'ah Duabelas karena mereka mempunyai duabelas
Imam Nyata ( ). Imam Pertama sudah barang tentu Ali
Ibn Abi Talib sedang Imam Keduabelas adalah Muhammad Al-
Muntazar.

Pada Muhammad Al-Muntazar berhenti rangkaian Imam-imam
Nyata, karena Muhammad tidak meninggalkan keturunan. Muhammad,
sewaktu masih kecil, hilang di dalam gua yang terdapat di Mesjid
Samarra (Iraq). Menurut keyakinan kaum Syi'ah Duabelas. Imam ini
menghilang baut sementara dan akan kembali lagi sebagai Al-Mahdi
untuk langsung memimpin umat. Oleh karena itu ia disebut Imam
Bersembunyi ( ) atau Imam Dinanti,
( ). Selama bersembunyi ia memimpin umat melalui
Raja-raja yang memegang kekuasaan dan ulama-ulama mujtahid Syi'ah.
Syi'ah Duabelas menjadi faham resmi di Iran semenjak permulaan
abad ke-enambelas, yaitu setelah faham itu dibawa ke sana oleh Syi'ah
Ismail.
Di samping Syi'ah Duabelas ada pula Syi'ah Ismailiah. Imamimam
mereka sampai dengan Imam Keenam masih sama dengan -
Imam-imam Syi'ah Duabelas. Perbedaan mulai timbul pada Imam
Ketujuh.
Ismail, anak dari Ja'far Al-Sadiq, lebih dahulu meninggal dunia
dari pada Imam Keenam ini. Oleh karena itu, tempat Ismail sebagai
Imam Ketujuh diganti oleh adiknya Musa AI-Kazim. Faham inilah
yang dianut oleh Syi'ah Duabelas. Tetapi sebagian lain dari kaum
Syi'ah tidak setuju dengan pengangkatan itu dan tetap setia pada Ismail,
sungguhpun ia telah meninggal dunia. Bagi mereka Ismailla Imam
Ketujuh dan bukan Musa Al-Kazim.
Karena mengakui hanya tujuh Imam Nyata, Syi'ah Ismaili, ini
juga disebut Syi'ah Tujuh, sungguhpun pada akhirnya tidak semua
berpegang teguh pada faham ini.
7
Khalifah-khalifah Fatimi di Mesir, golongan Qaramitah,
Hassyasyin, kaum Ismaili di India, Pakistan dan Iran, dan kaum Duruz
di Lebanon dan Syiria termasuk dalam golongan Syi'ah Ismailia.
Selanjutnya ada lagi Syi'ah Zaidiah, yaitu pengikut Zaid Ibn Ali
Zain Al-Abidin. Berlainan dengan Syi'ah Duabelas dan Syi’ah
Ismailiah mereka tidak menganut teori Imam Bersembunyi. Imam
harus langsung memimpin umat. Jabatan Imam harus berasal dari
keturunan Ali dan Fatimah. Demikian faham mereka.
Syi'ah Zaidiah dalam sejarah membentuk kerajaan di Yaman
dengan San'a sebagai ibu kota. Beberapa tahun yang lalu bentuk
kerajaan ini dirobah menjadi republik, setelah terjadinya revolusi di
negara itu.
Di samping ketiga golongan besar ini, masih ada golongan-
golongan kecil seperti Syi'ah Saba'iah, pengikut Abdullah Ibn Saba',
Syi'ah Al-Ghurabiah, Syi'ah Kisaniah, pengikut Al-Mukhtar Ibn Ubaid
Al-Tsaqafi dan Syi'ah Al-Rafidah.
Sebelum melanjutkan uraian, ada baiknya disimpulkan dahulu
yang telah diterangkan di atas.
Teori politik yang pertama timbul dari perkembangan politik ini
terjadi dalam sejarah Islam ialah mengenai jabatan Kepala Negara. Di
zaman Nabi Muhammad jabatan itu mempunyai bentuk yang unik.
Beliau, sebagai Rasul yang diutus Tuhan, membawi ajaran-ajaran yang
bukan hanya bersangkutan dengan hidup kerohanian tetapi juga ajaranajaran
mengenai hidup keduniaan manusia. Oleh karena itu Nabi
mempunyai kedudukan, bukan hanya sebagai Kepala Agama, tetapi
juga sebagai Kepala Negara. Dengan lain kata, alam diri Nabi
terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spirituil dan kekuasaan sekuler.
Beliau menjadi Kepala Negara bukanlah atas penunjukan dan pula
bukan atas dasar hak turun-temurun. Beliau sebagai Rasul secara
otomatis menjadi Kepala Negara.
Siapa yang berhak menjadi Kepala Negara sebagai pengganti
beliau dan bagaimana cara pengangkatannya, itulah yang menimbulkan
perbedaan faham di bidang politik dalam Islam. Sebagaimana dilihat
kaum Khawarij berpendapat bahwa yang berhak untuk menjadi Kepala
Negara ialah semua orang Islam dan cara penentuan dan mengangkatan
ialah pemilihan. Syi'ah, sebaliknya, berpendapat bahwa hanya
keturunan Ali yang berhak menjadi Kepala Negara dan hak itu bersifat
turun-temurun. Ahli Sunnah berpendapat bahwa hak itu dimiliki oleh
suku Quraisy dan pengangkatannya ialah melalui pemilihan. Tetapi di
samping itu ada pula yang menyetujui penentuan melalui keturunan.
Sementara itu timbul pula perbedaan faham tentang sifat dan
kekuasaan Kepala negara. Syi'ah Duabelas dan Syi'ah Fatimiah
berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad, sebelum beliau wafat, telah
menentukan Ali sebagai penggantinya. Dalam istilah Syi'ah. Ali adalah
wasi ( ) Nabi Muhammad, yaitu pengganti yang kepadaya
8
dilimpahkan Nabi sepenuh kepercayaan. Wasi sesudah Ali adalah
Hasan, kemudian Husein dan seterusnya cucu-cucu Nabi.
Imam mempunyai sifat kekudusan yang diwarisi dari Nabi, dalam
arti Ali menerima waris itu dari Nabi, Hasan dan Husein dari Ali, Ali
Zainal Abidin dari Husein dan demikianlah seterusnya oleh cucu-cucu
beliau. Di samping itu Imam mempunyai kekuasaan untuk membuat
hukum. Perbuatan-perbuatan serta ucapan-ucapan Imam tidak bisa
bertentangan dengan syariat. Dengan demikian bagi kaum Syi'ah, Imam
hampir sama sifat dan kekuasaannya dengan sifat dan kekuasaan Nabi.
Imam dan Nabi sama-sama tak dapat berbuat salah dan sama-sama
dapat membuat hukum. Perbedaan terletak dalam keadaan Nabi
menerima wahyu sedang Imam tidak.
Faham-faham di atas sama-sama dianut oleh Syi'ah Duabelas dan
Syi'ah Ismailiah. Tetapi di antara golongan Ismailiah ada yang
membawa faham-faham itu bersifat ekstrim. Sehubungan dengan
kesucian Imam dari perbuatan salah, mereka umpamanya berpendapat
bahwa sungguhpun Imam melakukan perbuatan salah, perbuatannya itu
sebenarnya tidak salah. Dengan lain kata perbuatan yang bagi manusia
biasa merupakan perbuatan salah, bagi Imam, itu tidak merupakan
perbuatan salah. Imam mempunyai ilmu batin, dan dengan ilmu batin
itu ia mengetahui hal-hal yang tak dapat diketahui manusia biasa. Apa
yang salah dalam pandangan manusia biasa, tidak mesti salah dalam
pandangan Imam. Ada lagi yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil
tempat dalam diri Imam, dan oleh karena itu Imam disembah. Khalifah
Fatimi Al-Hakim lbn Amrillah berkeyakinan bahwa dalam dirinya
terdapat Tuhan, dan oleh karena itu memaksa rakyat supaya
menyembahnya.
Syi'ah Zaidiah, berlainan dengan Syi'ah Duabelas dan Syi'ah
Ismailiah berpendapat bahwa Imam tidaklah ditentukan Nabi orangnya,
tetapi hanya sifat-sifatnya. Tegasnya Nabi tidak mengatakan bahwa
Ali-lah yang akan menjadi Imam sesudah beliau wafat, tetapi Nabi
hanya menyebut sifat-sifat Imam yang akan menggantikan beliau. Ali
diangkat menjadi Imam, karena sifat-sifat itu terdapat dalam dirinya. Di
antara sifat-sifat yang dimaksud ialah takwa, ilmu, kemurahan hati dan
keberanian dan untuk Imam sesudah Ali ditambahkan sifat keturunan
Fatimah.
Sifat-sifat tersebut adalah sifat bagi Imam terbaik ( ),
Tetapi dalam pada itu pemuka yang tidak mencapai sifat terbaik boleh
juga menjadi Imam. Kalau yang pertama disebut Imam afdal yang
kedua disebut Imam mafdul ( ). Oleh karena itu Syi'ah
Zaidiah dapat mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman.
Mereka diakui sebagai Imam-Imam mafdul dan bukan Imam-imam
afdal.
Di samping yang tersebut di atas ada lagi faham-faham yang
iajukan oleh Syi'ah ekstrim ( ) tentang sifat Ali. Al Saba'iah
9
menganggap Ali Tuhan dan tidak mati terbunuh, tetapi naik ke langit.
Al-Ghurabiah mengatakan bahwa wahyu sebenarnya urunkan untuk
Ali, tetapi Jibril salah dalam rnenganggap Mu.nmad adalah Ali. A1-
Nusairiah juga berpendapat bahwa Ali adalah Tuhan, atau sekurangkurangnya
dekat menyerupai Tuhan. Golongan Syi'ah ekstrim serupa
ini tidak diakui oleh golongan Syi'ah lainnya.
Ahli Sunnah tidak menerima faham-faham tersebut di atas. Bagi
mereka Ali dan keturunannya adalah manusia biasa, sama dengan ABu
Bakar, Umar, Usman dan lain-lain. Oleh karena itu Jabatan Kepala
Negara dalam teori mereka tidak dikhususkan untuk Ali dan
keturunannya dan kalaupun dikhususkan hanya untuk suku Quraisy.
Sementara itu Ahli Sunnah membahas soal khalifah dari aspekaspek
lain. Pembahasan serupa itu dijumpai dalam buku-buku ilmu
kalam atau buku-buku yang khusus membahas soal ketatagaraan dalam
Islam, seperti, Al-Ahkam Al-Sultaniah, karangan Al-Mawardi.
Menurut Al-Mawardi syarat-syarat yang diperlukan untuk
menjadi Khalifah atau Imam, selain kesukuan Quraisy antara lain
adalah sifat-sifat adil, berilmu, sanggup mengadakan ijtihad, sehat
mental dan fisik, berani dan tegas. Imam dipilih oleh orang-orang yang
berhak untuk memilih ( ). Sifat-sifat yang diperlukan
untuk menjadi pemilih adalah adil, mengetahui syarat-syarat yang
diperlukan untuk menjadi Khalifah, dan kesanggupan untuk
menentukan dengan bijaksana siapa yang berhak untuk menjadi Kalifah
di antara calon-calan yang ada. Pemilih-pemilih itu disebut ahl al hal
waal aqad ( ) yaitu orang-orang yang dapat
menentukan. Dengan mendapat bay'ah (pengakuan). Khalifah
sebenarnya telah mengikat janji (kontrak) dengan umat. Dari pihak nya
perjanjian itu merupakan janji yang mengandung arti bahwa ia akan
menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan tulus ikhlas, dan dari
pihak umat, itu mengandung arti bahwa mereka akan patuh pada
Khalifah. Tetapi kepatuhan umat kepadanya akan hilang kalau sifatsifat
yang membuatnya berhak menjadi Khalifah hilang pula,
umpamanya sifat keadilan hilang, atau kesehatan mental atau fisik
rusak, demikianlah seterusnya. Khalifah dapat diganti, kalau ia ditangkap
menjadi tawanan, atau kekuasaannya dirampas oleh seorang
Sultan atau Amir, dan Khalifah dengan demikian kehilangan
kemerdekaan. Adanya dua Khalifah dalam suatu Negara tidak boleh.
Demikian sebahagian dari teori-teori politik yang dimajukan oleh Al-
Mawardi.
Al-Ghazali, berlainan dengan kaum Khawarij, berpendapat,
bahwa Khalifah tidak dapat dijatuhkan, walaupun Khalifah yang zalim.
Menggulingkan Khalifah yang zalim tapi kuat, akan membawa
kekacauan dan pembunuhan dalam masyarakat. Al-Ghazali
mementingkan ketertiban dalam masyarakat. Khalifah dapat
menyerahkan kekuasaan untuk memerintah kepada Sultan yang
berkuasa. Dalam sejarah Dinasti Bani Abbas memang terdapat Sultan-
10
sultan yang berkuasa di samping Khalifah-khalifah yang lemah.
Sebagai dilihat di atas, tidak jarang bahwa Khalifah hanya merupakan
boneka dalam tangan Sultan.
Ibn Jama'a sama dengan Al-Ghazali, lebih mengutamakan
ketertiban dalam masyarakat daripada pemerintahan yang zalim. Patuh
kepada kekuasaan adalah kewajiban yang diharuskan agama. Penentuan
pengganti oleh seorang Khalifah, dalam pendapat Ibn Jama'a,
merupakan salah satu bentuk pemilihan.
Selain dari kaum teolog, kaum filosof Islam juga membahas soal
politik dalam Islam. Al-Farabi umpamanya, meninggalkan buku
bernama AI-Madinah AI-Fadilah ( ) Negara
Terbaik. Di dalamnya ia menguraikan bahwa negara terbaik ialah
negara yang dikepalai seorang Rasul. Tetapi karena zaman Rasul-rasul
telah selesai, maka negara terbaik kelas dua ialah negara yang dikepalai
oleh seorang filosof. Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi banyak
dipengaruhi oleh filosof Yunani, Plato.
Ibnu Sina juga berpendapat bahwa negara terbaik adalah negara
yang dipimpin Rasul dan sesudah itu negara yang dipimpin filosof,
Khalifah harus orang yang ahli dalam soal hukum (Syari'ah) memen
tingkan soal spirituil dan moral rakyat, dan mesti bersikap adil. Ia harus
membawa umat kepada kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di
akhirat.