Selasa, 31 Maret 2009

ANALISIS FILM "Doa yang Mengancam"

Ringkasan Cerita Film :

Film ini bercerita tentang Madrim (diperankan oleh Aming) yang bekerja sebagai kuli pasar. Hidupnya tak pernah bahagia dan selalu mendapatkan musibah. Dimulai dari kepergian istrinya, Leha (Titi Kamal), sampai musibah ketika ia diusir dari rumah kontrakannya. Hal itu membuat Madrim tak sanggup lagi menahan beban sementara doanya tak pernah terjawab.

Sahabatnya, Kadir (Ramzi), menyarankan agar Madrim lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan terus berdoa padaNya. Karena terinspirasi seorang pencuri, dalam doanya, Madrim mulai mengancam Tuhan. Dia berjanji akan menyembah setan apabila doanya tidak dikabulkan dalam 3 hari. Tepat pada hari ketiga, Madrim tersambar petir dan jatuh pingsan. Ketika sadar, ia mendapati dirinya memiliki kemampuan untuk melihat masa lalu serta keberadaan seseorang hanya melalui foto.

Kemampuannya itu dimanfaatkan oleh polisi untuk melacak buronan, dan Madrim berhasil. Namun dibalik itu semua ada seorang buron, Tantra, yang merasa resah dengan kemampuan Madrim sehingga ia menculik Madrim. Madrim ditahan di sebuah apartemen dengan fasilitas lengkap, gaji buta dan pengawalan yang ketat. Hal ini tentu membuat Madrim semakin berlimpah harta dan bisa melunasi semua hutang-hutangnya. Atas saran Kadir, ia kembali ke kampung halaman untuk bertemu ibunya. Tapi ia sangat terkejut ketika melihat masa lalu ibunya melalui foto. Merasa tersiksa dengan kehidupan barunya, Madrim mulai berdoa dan mengancam Tuhan agar melepaskan kemampuannya itu.

Karena sesuatu hal, Madrim mengalami koma dan ketika sadar ia mendapati dirinya mendapatkan kemampuan baru, yaitu menerawang masa depan! Madrim mulai tersiksa, dan melihat hal itu, Tantra berinisiatif untuk menyewa seorang pelacur kelas atas untuk menemani Madrim. Betapa kagetnya Madrim saat mengetahui bahwa pelacur itu adalah Leha, istri yang telah meninggalkannya. Malangnya itu adalah pertemuan terakhir kali kepada istrinya. Istrinya terjun dari apartemen dan semua itu hasil dari ucapannya yang asal ucap itu.

Madrim merasa sangat terpukul, saat itu juga ia memutuskan untuk bunuh diri. Ia berlari ke padang ilalang dan berteriak memanggil petir untuk menyambar tubuhnya. Hari demi hari ia menanti petir yang tak kunjung datang telah membuatnya lemas tak berdaya. Namun akhirmya usaha Madrim dapat digagalkan oleh kawan baiknya, Kadir.

Dari kejadian itu akhirnya Madrin sadar dan ia kembali menjalani hidup seperti orang biasa, terlebih orang yang ia cintai sudah tiada. Dengan bantuan Kadir, Madrin dapat kembali berkumpul dengan kawan-kawannya di tempat tinggalnya yang lama ketika ia menjadi kuli panggul. Di sana ia memulai kehidupan yang baru dengan membangun rumah makan bersama kawan baiknya, Kadir dan ibunya (Hj. Nani Wijaya) di pasar. Selain itu juga ia mendapatkan penganti istrinya.

Tema Film :

Ini adalah sebuah film yang bertema keikhlasan. Manusia menjadi bersahaja karena dirinya ikhlas. Ikhlas bukan aktifitas pasrah. Ikhlas adalah perjuangan. Perjuangan bergulat dengan egositas dirinya. Bukan menerima, layaknya falsafah Jawa ala cendana: Nrimo ing pandum, menerima apa yang diberikan. Ikhlas adalah wacana berserah diri. Apa yang diserahkan?

Madrim adalah potret manusia kini yang memandang Tuhan sebagai materi. Seorang boss yang maha pengasih, penyayang, pemberi, pemaaf. Maka ketika kita berdosa, 'si Boss' akan memaafkan jika kita berampun kepadaNya. Kalau kita miskin, si Boss bisa kasih kekayaan jika kita bersujud meminta. Tuhan dimata Madrim bisa didkte. Tuhan bisa diatur. Apakah Tuhan bisa menjadi sesuatu yang kita bayangkan?

Lewat film ini kita diajak untuk bercermin diri. Memandang jauh ke dalam diri kita tentang hal-hal kecil yang kita lupa. Tentang agama, keyakinan, komitmen, dan cinta. Masih perlukan semua itu, hanya untuk meyakini bahwa kita ada?

Pesan Moral :


  • Tokoh Utama.
    Hal positif dari peran Madrim diatas adalah bahwa Tuhan dapat dijangkau oleh manusia dan bahwa Dia tidak buta akan kebutuhan manusia namun tetap di jalan yang tak ada seorang manusia pun yang bisa mengerti akan rencanaNya. Artinya dalam konteks tersebut adalah agama, keyakinan, komitmen, dan cinta adalah wujud eksistensi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Namun hal pertama yang menjadi permasalahan adalah ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya eksis maka hal itu akan membawa kepada semua masalah kehidupan. Dan dalam ‘kilometer’ ini manusia sering terjebak untuk mengucapkan doa yang mengancam.

    Pada akhirnya, kita pun akan tersadarkan betapa Madrim bukanlah siapa-siapa. Madrim hadir menyelinap di antara kita atau mungkin menjadi bagian dari diri kita. Marah ketika doa belum terkabulkan, atau justru lupa ketika doa itu terkabulkan.
  • Cerita Film
    Satu hal yang bisa dipelajari dari film ini, yaitu terkadang manusia tidak tau apa yang dimintanya atau yang diinginkannya baik atau tidak untuk dirinya, sehingga sudah sepatutnya ia harus mensyukuri segala yang ia miliki, berusaha dan meminta hanya yang terbaik untuk dirinya.

    Saat manusia mengancam Tuhan di masjid, bahwa ia akan murtad jika hidupnya melulu susah dan istrinya tak jua ditemukan. Jawaban yang datang mungkin tak 100 persen memuaskan hasratnya. Lalu manusia mulai berpikir, jangan-jangan ini bukan jawaban Tuhan? Jangan-jangan ini jawaban dari "kubu seberang"? Selanjutnya manusia menggugat setan dengan mendatangi diskotik. Tak semua yang kita minta, dikabulkan Tuhan. Kadang kita harus mengusahakan sebagian dengan tenaga sendiri. Atau sebenarnya Tuhan sudah memberi, hanya saja hati kita terlalu tumpul untuk memahami.

    Kita, sebagai manusia dikala bertemu dengan jalan buntu, seringkali menyalahkan Tuhan atas keadaan itu. Ketundukan kita kepada Tuhan seringkali dilakukan dengan sebuah syarat, yakni Tuhan harus mengabulkan segala pinta kita. Penyembahan kepada Tuhan dijalankan dengan tidak ikhlas dan sabar. Ibadah yang kita lakukan, selalu berujung pada pengharapan terpenuhinya keinginan diri kita sendiri.

    Prasangka buruk juga sering kita lontarkan kepada Tuhan. Seakan-akan Tuhan tidak bersama kita. Doa-doa yang dipanjatkan dirasa tidak terkabulkan sama sekali. Film ini menunjukkan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap doa-doa yang kita panjatkan. Pengabulan doa, ternyata dilakukan Tuhan dengan cara yang berbeda-beda; langsung, ditunda atau dengan bentuk lain. Sebagai manusia, kita harus sadar sepenuhnya bahwa semua yang kita dapati ini adalah anugerah dari Tuhan. Yang membedakan antara orang sholeh dengan tidak adalah sikapnya dalam menerima anugerah itu. Dan film ini mengajarkan kita tentang semua itu. Jadi jangan asal kita mengucapkan doa atas hal-hal yang kurang baik, karena apa pun itu adalah doa dan tentu akan fatal apa bila menjadi kenyataan.

Pesan : “Usaha tanpa doa adalah kesombongan, doa tanpa usaha adalah kesia-siaan“ .

2 komentar:

scovhelia amboyasoy mengatakan...

ahhhhhhhhhhhhhhh wes tau weruh ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh sing gawe

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.